Day 12
Menjadi Orang Kristen yang Berdampak
Bagi orang yang tidak percaya, Kebangkitan Kristus tidak ada gunanya buat mereka. Tetapi untuk kita orang percaya, kebangkitan Kristus harus ada dampaknya.
Apakah makna dari kebangkitan Kristus didalam hidup kita? Kebangkitan Kristus merupakan landasan iman bagi kita; kebangkitan adalah bukti bahwa Tuhan yang kita sembah itu hidup. Hal ini berhubungan kepada pelayanan dan penginjilan kita bahwa setiap pelayanan dan benih yang kita tabur tidaklah sia-sia. Jika Yesus tidak bangkit, semua pelayanan kita dan bahkan pelayanan Yesus pun akan menjadi sia-sia karena semuanya berujung kepada kematian. (1 Korintus 15:32b). Maka, kebangkitan Yesus mengarah kepada kemenangan seperti yang ditulis dalam 1 Korintus 15:57 “Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.”
Kebenaran firman ini bagaikan bahan bakar untuk iman kita didalam segala aspek kehidupan rohani kita seperti yang dicontohkan oleh Tuhan Yesus selama ia hidup sampai kepada hari kebangkitanNya. Kita dapat dengan yakin percaya bahwa tidak ada yang sia-sia didalam Kristus sebab janji Bapa adalah “ya dan Amin” dan ini dibuktikan dengan kebangkitan anakNya, Yesus Kristus, Tuhan dan juruselamat kita. (1 Korintus 15: 58 “Karena itu, saudara-saudaraku yang terkasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jeri payahmu tidak sia-sia”)
Dengan adanya fondasi iman yang kuat melalui kebangkitan Kristus, bagaimanakah kita menjadi dampak untuk orang-orang tidak percaya?
- Bagaimanakah keadaan rohani kita pada saat ini? Marilah kita terus memperbaharui dan mempererat komitmen kita untuk lebih dan lebih lagi dekat dengan Bapa dan memiliki persekutuan yang intim denganNya setiap hari. Semakin kita dekat denganNya, maka hati, sikap, dan perilaku kita juga akan menjadi serupa dengan Dia. Maka, hati kita juga akan merasakan hati Bapa dan dibakar dengan kerinduan untuk menjangkau jiwa-jiwa yang belum mengenalNya.
- Menjaga kekudusan hingga akhir hidup kita. Dengan menjaga kekudusan dan menjadi pribadi yang benar di hadapan Allah, kita dapat menjadi berkat bagi orang lain dengan memancarkan terangNya di dalam segala aspek hidup kita (perkataan, perbuatan, dll).
- Seperti yang telah dicontohkan Tuhan Yesus selama hidupNya, marilah kita bersama-sama menjadi pribadi yang tidak mementingkan diri sendiri dan mau melayani seperti Dia melalui hidup kita. Bagaimana caranya? Dengan mengabarkan kabar baik kepada sesama kita yang belum mengenal Tuhan. Kita telah menikmati kasih dan kebaikan Tuhan. Maka dari itu, kita mau membagikannya kepada mereka. Marilah kita minta hati yang rindu dan penuh belas kasihan untuk mereka. Mengabarkan injil bukan hanya tugas gembala, namun kita semua dipanggil untuk menjadi hamba Tuhan (Matius 28:19-20).
Marilah kita menjadi anak-anak Tuhan yang berdampak bagi dunia; menjadi agen-agen Allah yang membawa berkat dan memancarkan terang Kristus di lingkungan keluarga, pekerjaan, sekolah, dan lain-lain.
-Clarine Chandra-
Day 11
Wahyu 21:6-27, 1 Kor 15:23-24
Yerusalem yang Baru
Dalam bagian-bagian sebelumnya, kitab Wahyu membahas mengenai ketujuh tulah pada hari penghakiman yang mengingatkan pembacanya kembali pada peristiwa 10 tulah yang sangat terkenal di kitab Keluaran. Dalam kitab Keluaran, diceritakan bahwa bangsa Israel adalah bangsa yang dipilih Allah untuk menjadi berkat bagi dunia, meneruskan perjanjian Allah pada nenek moyang mereka, Abraham. Ketika Allah memilih, ia tidak bertindak seperti pemimpin yang memerintahkan tetapi Ia sendiri hadir dan memimpin dengan kehadiran. Itulah sebabnya dalam kitab Keluaran, Musa menguraikan detail mengenai Tabernakel dan memerintahkan Israel membuat dan selalu membawa tabernakel sepanjang perjalanan keluar dari Mesir. Tabernakel adalah kehadiran Allah bagi Israel.
- Yerusalem yang baru adalah penggenapan Israel dimana Allah hadir dalam kemuliaanNya (ayat 11). Tidak ada lagi bait suci atau tabernakel (ayat 22),
- Yerusalem baru adalah tempat kediaman Allah (God’s dwelling place) dan bait suci Allah sepenuhnya karena Allah hadir secara penuh.
- Yerusalem baru turun dari sorga, dari Allah (ayat 10) menyatakan bahwa inisiasinya berasal dari Allah (semata-mata anugrah). Yerusalem baru adalah penggenapan kasih Allah dan anugrah dariNya semata.
- Dalam Yerusalem yang baru juga digambarkan bangsa-bangsa akan berjalan didalam terang dan raja-raja akan membawa kekayaan mereka kepadanya (ayat 24).
- Didalam Yerusalem yang barulah, terang lah yang menjadi penuntun kehidupan. Kejahatan, kefasihan dan keserakahan tidak akan ada, raja-raja yang fasik tidak lagi berkuasa, pemerintahan yang tidak adil tidak akan bertahan, tangis dan air mata karena sengsara tidak akan lagi ada.
Bukankah Yerusalem baru yang sangat kita nantikan itu hanya akan terjadi kelak ketika Yesus datang? Ya dan tidak. Meskipun kepenuhan Yerusalem baru ada saat kedatangan Kristus yang kedua, namun kebangkitannya yang kita rayakan telah membuka pintu bagi Yerusalem Baru. Seperti aroma masakan yang dapat tercium ketika pintu dapur terbuka, sekalipun kita tidak di dalam dapur tersebut, melalui persekutuan kita dengan Kristus sebagai buah sulung (1 Kor 15:23), kita mencicipi Yerusalem Baru tersebut sekarang. Demikianlah kita yang menerima cicipan tersebut, dipanggil untuk memulai pembangunan Yerusalem itu melalui hidup kita kini. Kita dipanggil menyatakan terang itu kepada jiwa yang berada dalam kegelapan, membawa sukacita menghapus segala penderitaan dan keputusasaan di dunia, dan menyatakan keadilan Ilahi ditengah dunia berdosa. Kita mengerjakan semua nya karena kita tau suatu hari Allah akan menyempurnakan dan menggenapinya – semuanya tidak akan sia-sia.
Refleksi: Sudahkah segala sesuatu yang kita lakukan di dalam dan bagi dunia ini dikerjakan dengan mata yang mengarah kepada Yerusalem Baru? Ataukah kita mengarahkan mata dan hati kita pada berhala?
-Lius Daniel-
Day 10
Siapakah Kita Sebagai Orang Kristen?
Sosial media adalah salah satu medium yang paling efektif di masa ini untuk membagikan informasi-informasi, termasuk injil atau hal-hal kekristenan lainnya.
Dulu saat masih tinggal di Indonesia, saya lumayan sering membagikan pesan-pesan yang terkait dengan kekristenan karena saya lahir dan dibesarkan di lingkungan kristen, sehingga saya selalu nyaman untuk membagikan hal hal tersebut. Tetapi sejak pindah ke Vancouver dan mulai memiliki teman dari berbagai negara lain dengan kepercayaan yang berbeda-beda, saya mulai berjaga-jaga membagikan apapun yang mengandung kekristenan ke media sosial. Saya khawatir mereka akan melihat saya seperti orang yang aneh atau seorang religius yang fanatik.
Pada suatu minggu, saya benar-benar diberkati dan dikuatkan oleh khotbah pada saat itu dan Roh Kudus menggerakan hati saya untuk membagikan pesan dari khotbah tersebut kepada orang lain. Tetapi pada saat mau membagikan pesan khotbah itu di media sosial, rasa khawatir mulai muncul. “Apakah perlu saya membagikan ini? “Apa nanti pendapat teman-teman saya yang non-kristen jika saya membagikan firman?” Berbagai macam pertanyaan begitu memenuhi pikiran saya. Tetapi Roh Kudus mengingatkan saya alasan mengapa saya harus membagikan pesan ini. Apakah untuk sekedar pencapaian pribadi? Atau karena saya ingin pesan ini menjadi berkat juga bagi orang lain dan memuliakan Tuhan.
Mungkin ada diantara mereka (teman-teman non-kristen) yang akan menilai saya, tetapi mungkin justru melalui kesempatan ini saya dapat mengabarkan injil untuk teman-teman saya yang belum mengenal Kristus.
Saat itu, saya tidak tahu apa yang akan terjadi setelah membagikan pesan itu, tapi satu hal yang saya tahu bahwa apapun yang terjadi setelah itu adalah pekerjaan Roh Kudus dan bahwa saya sudah melakukan bagian saya. Dan benar, setelah membagikan pesan itu, saya merasakan sukacita. Walaupun ini mungkin kelihatan seperti hal sepele, tapi ini mengajarkan saya bahwa memang seringkali manusia suka mementingkan ego mereka sehingga secara tidak langsung membatasi pekerjaan Roh Kudus melalui hidup kita/mereka.
Mungkin bukan dalam hal membagikan firman pada media sosial saja. Semua hal bisa menjadi kesempatan untuk memuliakan Tuhan: saat kita berbicara, memperlakukan teman kita yang belum kenal Kristus, perilaku kita di dalam dan luar gereja yang berbeda, atau hal-hal yang lainnya juga. Kalau kita selalu takut, kita tidak bisa mengabarkan injil atau kebaikan Tuhan. Takut tidak diterima, ditolak, dijudge, dianggap remeh.
1 Yohanes 4:18
“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih”
Ayat ini selalu mengingatkan saya bahwa saya mempunyai Allah yang lebih besar dari setiap ketakutan saya. Dia mencintai saya lebih dari apapun di dunia ini dan Dia peduli dengan apa yang saya pedulikan sehingga Dia tidak akan membiarkan saya berjalan sendiri.
2000 tahun lalu, Dia telah mati dan bangkit lagi untuk kita manusia-manusia berdosa yang seharusnya tidak layak menerima keselamatan itu. Tapi Dia tetap memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk menebus dosa kita. Dan sekarang, inilah giliran kita untuk membagikan kasih utuh yang telah kita terima ini kepada dunia.
Matius 5:13-16
5:13 “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.
5:14 Kamu adalah terang dunia.Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.
5:15 Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.
5:16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”
Inilah apa yang Tuhan ingin kita lakukan sebagai orang kristen, untuk menjadi garam dan terang bagi dunia. Bukan justru meninggalkan mereka yang belum mengenal Kristus, tapi justru memeluk mereka dan mengabarkan bahwa ada seorang pribadi yang selalu ada buat mereka dan menemani mereka.
Dan semua itu kita lakukan bukan untuk our sense of achievement, tapi hanya untuk kemuliaan Allah kita.
-Keshia Laisianto-
Day 9
KEBANGKITAN DI DALAM KRISTUS
Devotion from Yohanes 11: 17-27
Di ayat 20, dikisahkan Marta pergi menemui Yesus Kristus, dan terjadilah percakapan yang penting untuk mengajarkan kepada kita BERITA INJIL yang Yesus Kristus ingin sampaikan kepada Marta. Marta mengatakan bahwa Tuhan Yesus akan melakukan sesuatu untuk memberikan ketenangan hati, baik kepada Marta maupun saudaranya, Maria. Marta beriman, tetapi tidak seperti yang seharusnya. Dia beriman bahwa Yesus akan mendoakan mereka dan Allah akan memberikan apa pun yang Dia minta, tetapi tidak tahu bahwa Yesus akan membangkitkan Lazarus (ay. 39).
Ketika Yesus mengatakan bahwa Lazarus akan bangkit, Marta berpikir tentang kebangkitan pada hari penghakiman. Tetapi kebangkitan pada hari penghakiman tidak akan membuat seseorang terhindari dari kematian kekal. Pada hari penghakiman, kita semua akan dibangkitkan untuk dihakimi oleh Allah. Siapakah yang dapat melewati penghakiman Allah dan dinyatakan benar? Tidak ada seorang pun.
Kebangkitan yang dimengerti Marta bukan kebangkitan yang mengalahkan maut. Yesus Kristus tidak sedang berbicara tentang kebangkitan sebelum penghakiman. Yesus Kristus berbicara tentang “kebangkitan” yang membenarkan kita di penghakiman Allah. Kebangkitan yang memberi hidup yang kekal. Bukan hanya kebangkitan, tetapi kehidupan kekal di Surga.
Menjawab ini, Yesus pun mengatakan kepada Marta bahwa Dialah kebangkitan dan hidup. KEBANGKITAN dan HIDUP hanya ada di dalam Yesus Kristus. Jika kita percaya kepada Yesus Kristus, kita akan hidup (kekal) walaupun kematian (fisik) menjemput kita. Siapakah yang dapat memberikan ini kecuali Dia yang diperkenan oleh Allah dan yang mengalahkan maut? Hanya Yesus Kristus yang mengatakan ini dan membuktikannya dengan pekerjaan-Nya membangkitkan Lazarus.
Kita seringkali seperti Marta yang meminta ketenangan tetapi tidak mengerti arti dari kebangkitan di dalam Kristus.
Yesus menyatakan bahwa diri-Nya adalah kebangkitan dan hidup. Dialah yang mengalahkan maut. Jika kita telah percaya bahwa Dia telah mengalahkan maut, apakah dampaknya di dalam hidup kita? Sadarkah kita bahwa orang yang mengerti hidup yang mengalahkan maut menghidupi hidupnya berbeda dengan orang yang mengerti hidup yang ditaklukkan maut? Kiranya hidup kita senantiasa memuliakan Tuhan.
Sola scriptura, Sola fide, Sola gratia, Solus Christus, Soli Deo Gloria
-Ezra Sebastian-
Day 8
1 Korintus 15:1-11
Berita Kebangkitan Kristus
Pada zaman dahulu, keluarga-keluarga pada umumnya mempunyai sebuah buku yang dikenal sebagai buku silsilah marga. Melalui buku silsilah marga, seseorang dapat mengetahui sejarah dirinya, siapa nenek moyangnya dan bagaimana mereka berelasi. Dalam perikop ini, Paulus juga melakukan hal yang sama. Ia menceritakan sejarah gerakan kekristenan, bagaimana terbentuknya dan posisi Paulus sendiri dalam sejarah perjalanannya. Dalam rangkuman singkat ini, Paulus menekankan inti sejarah Kekristenan pada peristiwa kebangkitan Kristus, yang juga akan menjadi tema utama pasal terakhir dari surat 1 Korintus. Mengapa?
Dalam surat 1 Korintus, Paulus berulang kali mengingatkan jemaat Korintus akan akar mereka yakni mereka adalah milik Kristus. Seharusnya, Kitab Suci bukan hanya berfungsi sebagai buku panduan hidup tetapi buku yang menyatakan narasi kehidupan mereka atau identitas mereka sebagaimana Paulus tekankan melalui frasa “sesuai dengan Kitab Suci” pada ayat 3 dan 4. Dan kisah narasi kehidupan umat Allah berpuncak pada kebangkitan Kristus yang memberikan hidup yang baru (the new life) bagi umat Allah.
Seluruh kehidupan jemaat Korintus baru bisa dimaknai dengan benar ketika mereka memahami signifikansi the new life dalam kebangkitan Kristus. Sebagai contoh, janji bahwa Kristus akan memberikan tubuh kebangkitan yang baru membuat cara jemaat Korintus seharusnya memandang tubuh secara berbeda, lebih dari orang pada umumnya, yang menggunakan tubuh untuk kepuasan pribadi atau merusaknya melalui imoralitas seksual, seperti yang Paulus tegur di Pasal 6. Juga tentang kasih yang Paulus sampaikan di 1 Kor 13, dan poin terdalam dari pasal tersebut adalah kasih akan diteruskan sampai kepada the new life. Kasih akan menjadi bahasa utama dari kehidupan baru yang Kristus hadirkan melalui kebangkitanNya.
Paulus mau menekankan bahwa cara kita hidup didalam the new life, yakni kerajaan Allah, harusnya berbeda dengan cara kita hidup ketika masih dalam perbudakan dosa. Sekalipun kita masih hidup didalam dunia yang berdosa, kita berada dalam Kerajaan Allah, dimana Kristus Sang Mesias memerintah dan bukan dosa. Meskipun kita belum sampai kepada kepenuhan Kerajaan Allah dimana Kristus akan datang lagi kelak, namun janji-Nya ya dan Amin. Kita dapat berbuah bagi pekerjaan Allah didalam dunia karena kita tidak lagi diperbudak oleh dosa.
Di ayat 9 dan 10, Paulus menekankan bahwa melalui anugerah semata lah, dia berbagian dalam Kerajaan Allah ini. Demikian pula kita. Melalui peristiwa kebangkitan, kita meresapi bahwa kekristenan bukanlah kumpulan ide, pengajaran, atau instruksi bagaimana hidup. Kekristenan adalah kabar baik mengenai peristiwa yang terjadi dalam sejarah yang membawa perubahan besar oleh sekelompok orang yang beroleh anugrah (termasuk saudara dan saya), dan kita tidak pernah menjadi orang yang sama lagi sebelum dan sesudah kita berbagian dalamnya.
Refleksi: Sudahkah saudara terus menerus membangun kesadaran bahwa kita hidup dalam the new life, yakni Kerajaan Allah dalam keseharian hidup kita? Atau kah kita masih terbelenggu pada pemikiran kalau saya tidak mengikuti cara-cara dunia maka saya akan tersisih dan kehilangan hidup yang baik?
-Lius Daniel-
Day 7
Pengharapan yang Sejati
2 Korintus 4
Seorang manager meninggalkan perusahaan dimana saya bekerja beberapa bulan setelah mendapat promosi. Saya diberitahu bahwa orang itu diberi harapan bahwa dia akan menjadi pemimpin tim jikalau performanya baik, tetapi bos bercerita bahwa ia menyesal memberikan posisi itu terlalu cepat. Dia mengatakan bahwa memberikan posisi manajerial menghapus “harapan” yang meningkatkan kinerja dan akhirnya orang tersebut menjadi tidak termotivasi dan malas. Merenungkan hal itu, saya menyadari bahwa harapan adalah salah satu kekuatan paling kuat di dunia. “It enables, it empowers, it electrifies, it disciplines and it conquers.”
Namun banyak orang di dunia kehilangan harapan dan merasa putus asa. Terutama selama pandemic coronavirus, kita semua membutuhkan harapan. Tapi, dari mana kita dapatkan harapan tersebut?
2 Korintus 4 menghibur saya karena Allah berjanji bahwa ketika kita hidup untuk Kristus, selalu ada harapan melalui kebangkitan Kristus. Sebagian besar waktu, kita lupa bahwa kita memiliki “harta dalam bejana tanah liat” (Ay. 7). “Kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa.” (Ay. 8, 9). Kebangkitan Kristus membawa harapan. Petrus, yang juga putus asa disaat-saat Tuhan Yesus disalibkan juga menulis, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan.”
Ada pengharapan bahwa kesalahan dan dosa dapat diampuni. Ada pengharapan bahwa kita dapat memiliki sukacita, kedamaian, kepastian, dan keamanan di tengah keputusasaan zaman ini. Ada harapan bahwa Kristus akan segera datang. Ada harapan bahwa akan datang suatu hari langit yang baru dan bumi yang baru, dimana Kerajaan Allah akan memerintah sampai kekekalan. Harapan kita bukanlah dalam kemampuan kita sendiri, atau dalam kebaikan kita, atau dalam kekuatan fisik kita. Harapan kita datang dari kebangkitan Kristus.
-Joshua Sungkarto-
Day 6
API
Salah satu aspek dari kekristenan adalah kekristenan mempunyai api yang TUHAN hadirkan di kehidupan kita. Apa yang kita bisa pelajari dari motif api dari Alkitab? Di dalam Alkitab, kita menemukan banyak catatan tentang api.
Imamat 6:12-13 (Api yang di atas mezbah)
“Api yang di atas mezbah itu harus dijaga supaya terus menyala, jangan dibiarkan padam. Tiap-tiap pagi imam harus menaruh kayu di atas mezbah, mengatur korban bakaran di atasnya dan membakar segala lemak korban keselamatan di sana. Harus dijaga supaya api tetap menyala di atas mezbah, janganlah dibiarkan padam.”
Tugas Imam paling utama adalah menjaga supaya api yang kudus selalu menyala. Hamba Tuhan BUKAN Hamba Tuhan yang baik kalau tidak peduli bagian ini. Hamba Tuhan yang baik menjaga SUPAYA api yang kudus itu terus menerus menyala.
Api kekudusan ini datang dari Tuhan, BUKAN dari manusia. Tugas kita sebagai orang percaya adalah steward, menjaga jangan sampai api ini padam. Mengapa api ini bisa padam, termasuk gereja dan orang percaya? Dan karena apa?
Sentral dari kitab Imamat adalah KEKUDUSAN. Kita bisa mengaitkan konsep api dengan kekudusan. Waktu gereja dan orang percaya TIDAK lagi menjaga kekudusan, api itu pelan-pelan akan mati.
Di dalam Wahyu 2:1-7, kepada jemaat di Efesus, dikatakan kalau kamu tidak bertobat, Tuhan akan menarik kaki dian yang ada di sana. Jemaat di Efesus sangat diberkati dengan adanya Paulus, Yohanes dan Timotius yang pernah tinggal, mengajar, dan menggembalakan di sana. Namun kaki dian diambil dari situ karena mereka kehilangan kasih yang mula-mula. Mereka tidak bertobat dan tidak menjaga kekudusan, dan konsekuensinya, mereka tidak mempertahankan api.
Di dalam Imamat 10:1-2, Nadab dan Abihu, yang adalah anak-anak Harun, berusaha menyalakan api asing (api yang tidak diperintahkan Tuhan kepada mereka). Memang, Tuhan memberikan kesempatan manusia untuk menciptakan api mereka sendiri, tetapi dalam hal api persembahan, Tuhan menginginkan api yang dinyalakan sesuai dengan perintah Tuhan. Lain dari itu adalah api yang merusak dan yang tidak diinginkan Tuhan. Seperti pada kisah ini, Nadab dan Abihu akhirnya dihanguskan Tuhan.
Kita ingat kerajaan sorga seumpama ada orang yang menabur benih yang baik, dan di saat yang sama ada benih yang ditabur oleh Iblis. Kerajaan Allah bukan steril. Kalau kita tidak mengerti konsep ini, kita akan mudah putus asa dan berkecil hati di dalam pelayanan kita. Ada api yang asing yang ditabur oleh Iblis. Pada akhir jaman, api ini baru akan dipadamkan. Betapa menakutkan, Tuhan memberikan kesempatan untuk terus menimbun api asing di dalam MURKA Tuhan sampai akhir jaman. Kiranya kita terus mengawasi langkah hidup kita, termasuk dalam pelayanan kita.
Bagaimana kita bisa menjaga api yang kudus itu agar tidak padam? Ayo kita menjaga dengan hidup kudus. Menjaga dengan hati yang kudus. Setiap hari kita mengisi hari-hari kita dengan Firman Tuhan. Dengan demikian kita bisa terus menjaga api ini untuk menyala.
-Ezra Sebastian-
Day 5
Hamba Kebenaran
Roma 6:14-23
Waktu saya masih seorang murid di universitas, melakukan eksperimen di kelas lab, saya tidak sengaja melewatkan salah satu langkah dalam prosedurnya. Data yang saya dapat dari eksperimen itu kacau, dan sangat mustahil membuat laporan dari data tersebut. Kalau mengulang eksperimen tersebut, dibutuhkan waktu berjam-jam. Sekarang saya memiliki 2 pilihan. Opsi 1: Jujur dan membiarkan profesor tahu bahwa saya mengacaukannya. Atau opsi 2: memanipulasi angka yang masuk akal; dan tidak ada yang akan tahu. Apa yang akan saudara lakukan?
Kita semua sudah gagal dan kehilangan kemuliaan Tuhan (Roma 3:23); berdosa secara natur dan mudah tergoda. Dalam situasi putus asa, ketika pilihannya adalah jalan pintas yang berdosa atau jalan yang lebih sulit, kita cenderung memilih jalan keluar yang mudah. Ketika kita berusaha keras untuk menjalani kehidupan yang benar, ada saja orang-orang di sekitar kita yang berdosa.
Dalam hidup kita, ada saat-saat kita berkomitmen kembali untuk tidak berbuat dosa lagi. Tetapi ketika kita jatuh, bangkit, dan jatuh lagi, dan lagi, tampaknya mustahil untuk berhenti berbuat dosa. Jadi, apa arti hidup kudus? Apakah mungkin untuk tidak berbuat dosa lagi di dunia ini?
Dalam Roma 6, Paulus menjelaskan bahwa apabila kita sudah percaya Yesus telah mati bagi kita, dosa tidak dapat hidup di dalam kita. Kami bukan lagi hamba dosa karena kamu tidak lagi di bawah hukum Taurat, tetapi dibawah kasih karunia. Tetapi apakah itu berarti kita langsung menjalani kehidupan yang suci setelah kita menjadi manusia baru? Jawabannya ada pada ayat 19. “sama seperti kamu telah menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan yang membawa kamu kepada kedurhakaan, demikian hal kamu sekarang harus menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kebenaran yang membawa kamu kepada pengudusan.” Hidup kudus adalah sebuah proses, dan proses ini memerlukan kita untuk menjadi hamba kebenaran. Bagaimana kita bisa menjadi hamba kebenaran? Jawabannya ada pada ayat 16 dan 17, yaitu dengan menaati Allah dan ajaran-Nya dengan sepenuh hati seperti Yesus taat kepada Allah Bapa. Jika kita merasa putus asa untuk mencoba menjalani kehidupan yang kudus, ingatlah untuk selalu kembali untuk menaati Allah dan ajaran-Nya, dan “kamu akan beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal.” (Ay. 22).
Jadi, bahkan jika ada saat-saat di masa lalu kita memilih opsi 2, jangan biarkan rasa bersalah kita menghentikan kita dari mencoba untuk menjalani kehidupan yang benar, karena menjalani kehidupan yang kudus adalah proses seumur hidup, di mana kita terus-menerus diubah oleh pembaharuan budi dan belajar untuk mengetahui kehendak Allah yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. (Roma 12: 2).
Untuk mengakhiri renungan ini, mari kita renungkan Matius 6:33 untuk mengingatkan kita untuk selalu berusaha untuk menaati Tuhan di setiap musim kehidupan kita, apakah itu saat bunga bermekaran di musim semi atau saat Coronavirus menyerang. “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
Joshua Sungkarto
Day 4
Kekudusan
Kekudusan merupakan sebuah aspek kekristenan yang jarang dibahas secara intensif. Padahal, hidup dalam kekudusan adalah inti dasar dari hidup Kristen. Dalam bahasa Yunani, kudus adalah “hagios” yang berarti (set apart) dipisahkan untuk suatu tujuan yang khusus atau mulia. Jadi, hidup kudus berarti hidup sesuai dengan kehendak Allah dan tidak menjadi serupa dengan dunia, seperti yang dituliskan dalam kitab Roma 12:2 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
Berikut adalah beberapa ayat yang menyiratkan pentingnya kekudusan bagi kehidupan orang Kristen:
- Ibarat perhiasan (Mazmur 29:2 “Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya, sujudlah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan!”). Kekudusan adalah perhiasan rohani yang menyenangkan hati Tuhan. Hanya dengan hidup kudus saja kita dapat benar-benar yakin bahwa persembahan kita berkenan dan harum di hadapanNya.
- Kekudusan adalah kunci di dalam berdoa (Yakobus 5:16b “Doa orang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya”.) “Orang benar” disini adalah orang yang menjaga kekudusan. Sebagai contoh, pada Kejadian 4, Kain dan Habel sama-sama yakin ketika mempersembahkan korban, tetapi hanya persembahan Habel yang diterima. Mengapa? Karena Tuhan melihat hati, bukan melihat jenis persembahannya. Begitu juga dengan doa, Tuhan melihat hati dan hidup yang benar, bukan hanya dengan yakin saja.
- Kekudusan adalah senjata (Roma 6:13 “Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran”). Jika kita hidup kudus di hadapan Tuhan, tidak akan ada yang dapat mencelakakan dan menghentikan kita. Kekudusan adalah satu-satunya senjata dimana kuasa iblis dan rancangan jahat dapat kita hancurkan. Sebagai contoh, pada kitab Yosua 6:1-20, tentara Yosua menghancurkan tembok Yerikho bukan menggunakan senjata, melainkan berhiaskan kekudusan.
Kekudusan adalah tanggung jawab kita sebagai orang Kristen dan sifatnya tidak otomatis. Kita harus mengejar dan mengusahakan kekudusan di dalam hidup kita setiap hari. Bagaimanakah cara kita menjaga kekudusan?
- Kekudusan dimulai dari sikap tidak mementingkan diri sendiri, melainkan mengutamakan Tuhan dalam segala perkara.
- “Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus” (Efesus 6:18b).
- Mulailah menyediakan waktu untuk berpuasa untuk menguduskan hati dan motivasi kita.
Refleksi : Sudahkah kita hidup kudus di hadapan Tuhan dalam segala aspek kehidupan kita? Marilah kita terus menerus bertekun didalam doa dan berpuasa untuk menyiapkan hati kita dalam memperingati hari kebangkitan Yesus. Mintalah kekuatan dan pimpinan Roh Kudus dalam menjaga kekudusan hidup kita karena selama kita hidup di dunia, kita adalah manusia berdosa yang penuh daging; kita tidak akan mampu berjalan sendiri.
Clarine Chandra
Day 3
Berjuang dan Berharap dalam Kristus
TB 1 Tim 4:10 “Itulah sebabnya kita berjerih payah dan berjuang, karena kita menaruh pengharapan kita kepada Allah yang hidup, Juruselamat semua manusia, terutama mereka yang percaya.”
TB Matius 16:24 “Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku”
Pernahkan di dalam hidup ini, anda menginginkan sesuatu dengan sangat sehingga anda rela melakukan segala upaya untuk mendapatkannya? Kebanyakan pasti menjawab pernah. Lalu apa yang terjadi jika anda gagal? Pastinya anda akan mencoba mencari jalan yang lainnya; jikalau tidak itu berarti anda tidak benar-benar menginginkan hal tersebut.
Sama halnya dengan kehidupan Kristen. Seringkali kita ingin lebih dekat dengan Sang Pencipta dan berjerih payah untuk mencapai hal tersebut. Namun, ujung-ujungnya hal tersebut tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Alih-alih menjadi lebih rohani, anda malah merasa lelah. Paulus berkata di dalam 1 Tim 4:10 bahwa alasan dia berjuang keras di dalam pekerjaan-Nya bagi Kristus adalah karena ia tahu bahwa Tuhan kita adalah Allah yang hidup, sehingga kita bisa menaruh harapan kita kepada-Nya, Ia pun adalah Juru Selamat.
Kita mencoba melakukan segala sesuatu dengan kekuatan sendiri – kita lupa bahwa kita bukan juruselamat. Kristuslah Sang Juruselamat. Sudahkah anda merendahkan diri, memohon kepada-Nya untuk menyelamatkan kita dari diri kita sendiri? Karena sejujurnya, kita sebagai manusia berdosa tidak akan mungkin mampu untuk menyelamatkan diri kita sendiri, apalagi mempunyai relasi yang intim dengan Tuhan, jikalau kita mengandalkan kekuatan kita yang terbatas. Mintalah kepada Tuhan untuk memurnikan hati dan motivasi kita, sebelum kita memulai perjalanan rohani ini. Apakah benar kita melakukan semuanya ini untuk-Nya? Ataukah ada di pojok tersembunyi di hati kita yang sebenarnya menginginkan pengakuan dari orang lain? Dan yang terakhir, apakah anda sudah sepenuhnya berserah, rela untuk memikul salib hidup, menyangkal diri untuk mengikut jejak Sahabat yang telah mati untuk kita? Untuk bisa menghidupi kehidupan baru yang telah disediakan Tuhan untuk kita, kita yang lama harus mati terlebih dahulu. Setiap egoisme, tinggi hati, kemalasan, narsisme, dan lain sebagainya, perlu digantikan oleh Kristus yang bertahta di hati dan pikiran kita. Sakit? Iya, sangat. Setimpalkah? Ya! melebihi apapun yang bisa kita bayangkan atau pikirkan.
Jangan takut ataupun khawatir, karena kita tahu bahwa Allah yang kita percaya, adalah Allah yang setia dan Allah yang peka terhadap kebutuhan kita, dan Ia sungguh menantikan untuk bersekutu dengan anda.
Yemima Winarto
Day 2
Bukan Sekedar Perasaan
TB Yakobus 2:14-26
14 “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?”
22 “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”
26 “Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.”
Berjalan dan berelasi bersama Tuhan bukan cuma didasari oleh perasaan. Sebagai orang yang tumbuh dari aliran karismatik, saya terbiasa dengan gaya berelasi dengan Tuhan yang menggunakan perasaan. Perasaan itu baik tentunya, karena bisa membantu kita merasakan kasih Allah, kebaikan-Nya, kebahagiaan di dalam-Nya, merasakan kehadiran Roh Kudus, dan sebagainya. Tapi apa perasaan ini akan selalu ada?
Beberapa di antara kita pasti pernah merasa kering secara spiritual. Ya, memang perasaan itu bisa terpendam. Sangat wajar, seperti saat kita berelasi dengan manusia pun kita juga bisa merasakan hal ini. Saat kita berteman atau berpasangan, satu hari kita bisa sangat senang menghabiskan waktu dengan mereka, tapi pasti juga ada saat-saat dimana kita lelah dan ingin menyendiri. Tapi apakah artinya kita tidak mengasihi mereka lagi? Apakah kita tidak lagi peduli dengan keberadaan mereka? Tentu tidak.
Kehidupan kekristenan tidak bisa di digerakkan atau didorong oleh perasaan saja. Seperti relasi dengan manusia, berelasi dengan Tuhan juga membutuhkan lebih dari sekedar perasaan. Walaupun di saat dimana kita tidak bisa merasakan Roh Kudus di dalam hidup kita, bukan berarti Ia tidak ada di dalam hati kita. Dia selalu ada, justru sebaliknya dengan ‘ketidakhadiran-Nya’ ini, timbul apa yang kita sebut dengan iman. Iman inilah yang akan terus menguatkan kita dan tetap teguh di dalam Tuhan walaupun di saat itu kita tidak bisa merasakan kehadiran-Nya.
Seringkali saat kita menghadapi suatu masalah, kita cenderung ingin mendapat jawaban dan penghiburan dari Tuhan. Namun juga seringkali dari sini iman kita menjadi goyah. Bisa karena kita kecewa tidak mendapat jawaban sehingga relasi kita bersama Tuhan menurun dan akhirnya tidak lagi merasakan sukacita dan damai sejahtera di dalam-Nya.
Paulus dalam kitab Filipi 4:4 berkata, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!”
Ini adalah suatu perintah yang dia sampaikan kepada orang Kristen. Namun apakah ayat ini berbicara soal perasaan?
Ayat ini berbicara mengenai suatu hal yang lebih dari sekedar perasaan. Paulus tidak dapat memberi perintah kepada emosi kita, bahkan kita saja terkadang tidak bisa mengontrol perasaan kita sendiri. Yang dia katakan di ayat ini adalah tentang hidup dan berjalan bersama Kristus. Berbahagia adalah saat kita berjalan dengan Kristus. Kristuslah kebahagiaan itu sendiri. Sehingga di saat kita mengalami masalah atau saat kita tidak dapat merasakan kehadiran Allah, kita tetap berbahagia, karena kita tau kita memiliki Allah yang setia dengan kita. Itulah kebahagiaan yang sejati.
Mungkin beberapa dari kita sekarang sedang merasakan kekosongan, kesendirian, atau mengalami masalah tapi tidak mengetahui jalan keluarnya. Ayo kita kembali kepada Allah kita yang dapat melengkapi hati kita. Jangan lagi mau menjadi hamba perasaan, disiplinkan hati dan nyatakanlah bahwa apapun perasaan yang kita sedang alami sekarang, kita tetap mau kembali kepada Tuhan dan beriman bahwa Ia akan memeluk kita lagi, mengangkat kita, menyertai, melindungi kita, dan apapun yang menjadi pergumulan hidup kita, Ia sanggup mengatasinya. Marilah kita terus bersandar pada firmanNya daripada fokus kepada perasaan kita. Dari situlah kita akan memiliki relasi dengan Tuhan secara utuh, yang berdasarkan komitmen, iman, dan perasaan.
-Keshia Laisianto-